Kafe yang beralamat di salah satu pusat jajanan kuliner di Bandung itu memang mengadopsi banyak sekali simbol-simbol Nazi. Gambar Hitler terpajang di salah satu dindingnya. Salah satu menu di situ: Nazi goreng. Pesanan akan diantar oleh pelayan yang kerap mengenakan atribut pasukan Schutzstaffel (SS), tentara khusus Nazi.
Harus diakui, tidak ada tabu terhadap Nazi di negeri ini. Nazi tak pernah dianggap sebagai bahaya yang serius. Simbol-simbol Nazi tak akan pernah memancing kecurigaan yang berlebihan (bandingkan dengan palu arit atau bintang Daud, misalnya).
Nazi justru sempat jadi objek kekaguman. Di masa pergerakan, terutama setelah memasuki dekade 1930-an, kebangkitan Jerman yang dipimpin Hitler menjadi bahasan yang tak henti-hentinya dibicarakan oleh para aktivis dan politisi Indonesia di masa itu.
Sejarawan Ong Hok Ham pernah membandingkan pergerakan nasionalisme di Indonesia dan Vietnam dalam soal fasisme ini. Kata Ong, di Indonesia, ada semacam penerimaan terhadap gerakan fasisme dunia. Berbeda dengan pergerakan nasional di Vietnam yang seiring sejalan dengan semangat antifasisme yang ditubuhkan Aung San, Ho Chi Minh, dll.
Mestikah diherankan jika pernah berdiri Partai Fasis Indonesia di Bandung pada 1933? Ya, di Bandung — kota yang sama dengan tempat berdirinya SoldatenKaffe, juga di kota yang sama dengan Stadion Siliwangi (yang salah satu pemimpin di tribunnya kadang berpose dengan salut ala Nazi).
Mestikah diherankan juga jika fasisme Jepang dengan mudah merekrut para petinggi pergerakan nasional untuk bekerjasama saat menduduki Indonesia? Ini bukan sekadar soal taktik perjuangan, tapi memang faktual untuk mengatakan fasisme sudah dikenal, dipelajari bahkan kadang diharapkan sebelum Jepang benar-benar datang.
Untuk mengetahui bagaimana Nazi, Hitler atau fasisme di masa pergerakan nasional, Anda bisa mulai membaca riset Wilson yang diterbitkan sebagai buku dengan judul “Orang dan Partai Nazi di Indonesia, Kaum Pergerakan Menyambut Fasisme” yang terbit tahun 2008.
Bandingkan dengan komunisme, misalnya. Anda yang belajar sejarah Indonesia dengan detail, mustahil tak mengakui peranan gagasan atau gerakan komunisme dalam proses kemerdekaan Indonesia. Marxisme bahkan jadi moda berpikir dan metode analisis yang sangat banyak memengaruhi para pendiri bangsa ini. Bukan cerita aneh bila seseorang menjadi aktivis antikolonialisme karena pengaruh gagasan Karl Marx.
Komunisme akhirnya menjadi penting karena sejarahnya juga berlanjut pasca-kemerdekaan. Jika fasisme Hitler tumbang, komunisme setelah Perang Dunia II justru sempat menguat pengaruhnya di dunia, termasuk di Indonesia. Karena pernah menjadi bagian dari pertarungan politik pasca-kemerdekaan pula maka komunisme masih saja dianggap berbahaya. Sampai sekarang.
Lagipula, Indonesia sampai batas tertentu memang mengakomodasi cara berpikir fasisme. Kekuasaan Orde Baru selama 32 tahun adalah fasisme yang terlalu sukar untuk ditutup-tutupi. “NKRI Harga Mati” adalah bentuk cara berpikir fasis yang mengharamkan pandangan politik lain yang berbeda.
Maka saya tak terlalu menganggap SoldatenKaffe yang berornamen Nazi sebagai hal serius yang berbahaya. Bukan karena saya setuju fasisme, tetapi semata karena Indonesia sekarang ini memang “ramah” terhadap cara berpikir fasis. Tapi ini fasisme berbalut bungkus budaya ke-timur-an, fasisme ala Pancasila – bukan fasisme ala Nazi.
Di hadapan fenomena pengafiran bahkan pembantaian mereka yang dianggap berbeda, mereka yang dianggap sesat, keberadaan SoldatenKaffe itu tak ubahnya kartu pos bergambar yang dikirim dari Eropa sana. [sumber]