Home » » MANTRA PELET DARI MELAYU

MANTRA PELET DARI MELAYU

Written By Unknown on Rabu, 19 Maret 2014 | 20.18

Irwan adalah pemuda lugu dan polos yang baru saja datang dari Pulau Bintan untuk menimba ilmu di salah satu Perguruan Tinggi Swasta yang ada di bilangan Depok. Walau tergolong baru menjejakkan kaki di belantara pinggiran Jakarta, tetapi, ia telah memiliki banyak kenalan, teman bahkan beberapa sahabat yang selalu saja mengerumuninya.


Betapa tidak, karena Irwan adalah sosok yang sangat humoris, pandai bergaul dan menempatkan diri, ringan tangan serta tergolong pandai pula. Itulah sebabnya, kenapa dalam waktu dekat, semua mahasiswa yang belajar di fakultas itu sangat mengenalnya dengan baik.

Bobby, salah seorang seniornya yang pecinta alam itu, terkadang meminta Irwan untuk membantunya dalam beberapa kegiatan. Akibatnya, keduanya semakin dekat. Boleh dikata, di mana ada Bobby, pasti di situ ada Irwan, begitu juga sebaliknya — kebetulan lagi, Laila, adik sepupu Bobby juga satu angkatan dengannya.

Seiring dengan kedekatan keduanya, diam-diam, ternyata Irwan menaruh hati pada Laila. Gadis cantik berkerudung yang murah senyum serta memiliki cita-cita yang demikian luhur, ingin menjadi sarjana kesehatan masyarakat dan kelak bisa mengabdikan dirinya di daerah pedesaan.

Cita-cita Laila itulah yang membuat Irwan jatuh hati. Maklum, ia juga bercita-cita ingin mengabdikan diri di kampung halamannya yang jauh dari keingaran. Kesamaan itu pulalah yang membuat Irwan dan Laila (tanpa Bobby tentunya) juga sering terlihat jalan atau berbincang bersama tentang berbagai hal, mulai dari mata kuliah, kehidupan sampai dengan harapan yang diinginkan oleh masing-masing.

Hingga pada suatu hari, usai menjadi di tengah-tengah hamparan sawah yang menghijau dan semilir angin, mendadak Irwan menghentikan langkahnya. Laila yang berjalan di depannya langsung menoleh dengan pandangan penuh tanya. Irwan yang melihat Laila seperti itu hanya tersenyum dan langsung berkata dengan halus; “Lail, sebenarnya, selama ini aku menyimpan perasaan sayang kepadamu.”

Laila tampak terlihat kaget dan terdiam sesaat. Tak lama kemudian, terdengar suaranya dengan terbata-bata; “Bang Ir, selama ini Lail menganggap abang sebagai kakak kandung sendiri. Maafkan Lail Bang…”“Ufh …” hanya itu yang keluar dari mulut Irwan yang seolah hendak melepaskan segala beban yang tiba-tiba serasa menghimpit dadanya.

Seolah tak ada kejadian yang berartti, keduanya pun kembali meneruskan perjalanannya dalam diam. Sekali ini tak ada lagi dendang atau gurauan yang terlontar dari mulut keduanya, mereka jadi terkesan kaku.

Irwan dan Laila hanya berjalan menuruti kaki yang melangkah menuju ke tempat truck dan teman-teman lainnya yang memang sudah menunggu. Sepanjang perjalanan bahkan sampai di kampus, tidak ada kejadian yang berarti.

Menginjak hari ketiga, Bobby tiba-tiba datang dan bertanya; “Ir … kenapa tiga hari ini kau gak pernah main ke rumah lagi?”

“Maaf … Bang, aku gak enak badan,” jawab Irwan dengan gagap.

“Oh … aku kira ada masalah apa…”sahut Bobby cepat.

Irwan menggeleng sambil mohon diri untuk segera masuk ke kelas karena dosen sudah datang. Sepanjang hari itu hati dan pikiran Irwan benar-benar sangat galau.

Bahkan, tak ada satu mata kuliah pun yang bisa atau berhasil dicernanya dengan baik. Yang ada dalam benaknya hanyalah wajah ayu Laila, gadis yang acap mengenakan kerudung merah jambu dengan senyumnya yang demikian menawan itu ….

“Ah … bisa-bisa aku mati dalam kubangan cinta yang tak bertepi…” bisik hatinya mencoba untuk melawan.

Tak lama kemudian, hatinya kembali berbisik; “Tetapi, bagaimana bila aku bisa mendapatkan ilmu sekaligus cinta …!”

“Ah … yang terakhir harus benar-benar kuperjuangkan. Ilmu sekaligus cinta …” bisik hatinya dengan mantap. Setelah menimbang-nimbang beberapa saat, hatinya pun kian bertambah mantap. Perlahan, tapi penuh kepastian, wajah Irwan pun kembali sumringah seperti sedia kala.

Singkat cerita, usai Ujian Akhir Semester, sementara menunggu hasil ujian dan pengisian Kartu Rencana Studi, kebanyakan, para mahasiswa yang berasal dari daerah kembali ke kampung halamannya masing-masing — begitu juga dengan Irwan.

Di kampung halamannya, seperti biasa, Irwan pun yang pulang kampung segera menyambangi semua keluarga dan sahabatnya. Dan ketika berjumpa dengan pamannya, Irwan pun langsung memeluk dengan penuh sukacita.

Semua hanya tersenyum dan maklum, Irwan memang paling disayang oleh paman Herman. Dan setelah keduanya sejenak melepaskan kerinduan dengan saling bertukar kabar, dengan penuh selidik, paman Herman pun bertanya; “Nampaknya ada sesuatu yang khusus yang akan engkau bicarakan pada paman?”

Irwan tergagap. Ia tak menyangka bakal mendapatkan pertanyaan yang seperti itu. Dengan gagap, ia pun menjawab; “Be .. be …benar paman.”

“Masalah cinta?” Desak sang paman.

“inilah yang kusuka dari paman…” sahut Irwan yang sudah bisa menguasai diri, “tanpa perlu kita bercerita panjang lebar, jawaban pasti akan langsung diberikan,” imbuhnya.

“Sekali ini tidak. Engkau harus menceritakan dengan jujur dan apa tujuanmu,” jawab sang paman dengan hatihati.

“Ah …” sahut Irwan sambil menepuk dahinya, “baru kali ini aku melihat paman demikian serius.”

“Engkau sudah dewasa, dan rasanya, enggan paman membantumu jika hanya untuk mempermainkan atau mengajuk hati perempuan,” sahut sang paman tegas. Dengan singkat dan hati-hati, Irwan pun menceritakan apa yang dialaminya. Dikutip dari majalah-misteri.net

Sang paman hanya diam dan sesekali menghembuskan asap rokok yang dihisapnya ke udara. Keheningan langsung menyungkupi ruang tamu rumah sang paman … dan tak lama kemudian, terdengar suara sang paman; “Apakah engkau masih mendirikan shalat dengan tertib?”

“Insya Allah masih paman,” jawab Irwan.

“Baik … jangan sekali-kali engkau meninggalkan shalat,” lanjut sang paman.

Irwan hanya mengangguk. Dan kembali sang paman bertanya; “Apakah engkau benar-benar akan menjadikan Laila sebagai istrimu?”

“Benar paman,” jawab Irwan mantap.

“Berjanjilah kepada Allah, jangan kepadaku. Semoga Allah berkenan mempersatukan cinta kalian,” imbuh sang paman.

“Dimulai hari Senin, usai mendirikan shalat hajat dua rakaat, bacalah mantra ini sebanyak 303 kali dan lakukan selama tujuh malam berturut-turut. Selanjutnya, tiap usai mendirikan shalat fardhu, bacalah mantranya sebanyak tujuh belas kali sambil tahan napas dan membayangkan wajahnya. Lakukan semuanya dengan penuh kesungguhan,” papar sang paman panjang lebar.

Irwan hanya diam dan mencatat apa-apa yang diucapkan oleh pamannya. Sementara, mantra yang harus dibaca adalah sebagai berikut;

selusuh selasih, tebu salak tumbuh di luwah
bersalah engkau kasih,
berdosa aku engkau sembah, berkat aku memakai;
pengasih Allah, pengasih Muhammad,
pengasih Bagindo Rasulullah,
berkat lailla hailallah


Karena liburan yang cukup panjang, maka, malam itu, kebetulan malam Senin, Irwan pun langsung menjalankan apa yang diajarkan oleh paman Herman. Hari terus berganti, pada hari Jumat, minggu berikutnya, pagi-pagi sekali, hp miliknya tiba-tiba berdering. Irwan agak terkejut, di layar terpampang nama Laila. Laila yang meneleponnya. Dan dengan harap-harap cemas, Irwan segara mengangkat sambil langsung mengucap salam;

“Assalamu’alaikum.”

“Wa’alaikumsalam,” terdengar jawaban Laila dari seberang sana,lembut, “Bang, maafkan Lail ya … dan kapan Abang balik ke Jakarta?”

“Mungkin beberapa hari lagi menjelang kuliah Lail,” jawab Irwan dengan hati penuh rasa gembira.

“Oh … salam buat semua keluarga di kampung ya Bang. I miss You,” jawab Laila terdengar dengan nada penuh rasa cinta.

“Insya Allah akan abang sampaikan. I miss You to,” jawab Irwan juga dengan penuh rasa cinta sambil terus melakukan sujud syukur. Sekembalinya di Jakarta, boleh dikata, di mana ada Irwan pasti ada Laila. Keduanya terus saja merajut tali kasih sambil menimba ilmu guna mencapai cita-cita masing-masing.
Cloap Program Affiliasi - Cara Mudah cari uang