Sebut namaku BUNGA. Karena tidak mendengar ajaran orang tua kini hidupku menderita, disia-siakan oleh pria pilihanku sendiri. Hatiku tidak tenang meskipun aku sudah membalas kebohongan suamiku dengan berselingkuh dengan pria lain. Perjalanan cintaku seperti sinetron di layar tv. Dia sebut saja AJ, laki-laki yang merubah hidupku.
Tidak aku pungkiri aku memang sangat mencintainya dan karena cintaku juga aku rela dibohongi, disakiti dan terus menerus kecewa. Benar kata orang tua dan agama, “zina hanyalah kenikmatan sesaat “, itulah gambaran awal perubahan hidupku.
Usiaku terpaut 13 tahun dari AJ. Aku tau dia telah menikah dan punya anak. Aku berani melangkah jauh menjalin hubungan cinta dengannya. Keputusan yang aku ambil bukan tanpa alasan, cinta yang jadi alasanku dan betapa aku bahagia ternyata dia telah cerai 2 tahun yang lalu dan sudah pasti itu bukan karena aku.
Keyakinan langkahku untuk terus menjalani hubungan ini juga didasari surat cerai, perkenalan aku dengan ke dua orang tua dan buah hatinya yang masih kecil. Walau tanpa menikah aku rela menjalin hubungan suami istri dengannya.
Kita tinggal di luar kota, aku kerja dan dia juga kerja. Selama menjalin hubungan ini kita berdua bahagia. Aku juga kenalkan dia kepada keluargaku tapi, begitulah orang tua yang selalu menginginkan yang terbaik untuk putrinya. Pertentangan dari keluargaku mulai terlihat, banyak cara untuk memisahkan aku dan dia.
Sampai pada akhirnya aku beranikan lari ke Makasar menyusul dia yang sudah menungguku dan memang memintaku untuk menemuinya. Hampir setahun aku jalani hidup rumah tangga tanpa restu orang tuaku. Menginjak tahun berikutnya kita berdua pulang ke Jawa dan aku ikut lagi ke kota tempat suamiku kerja.
Suamiku adalah seorang atlit bola Liga Indonesia dan memang sudah konsekwensinya pindah-pindah tempat tinggal. Selama aku mendampinginya aku berusaha sms keluargaku untuk minta maaf dan meminta restunya, selain itu aku ceritakan bahwa aku sudah menikah dan kedua orang tua AJ menjadi saksi.
Tidak ada balasan dan aku sadar mereka masih kecewa dengan pilihanku. Menginjak 4 tahun pernikahan, aku hamil anak pertama, dan saat itu pula aku meminta restu orang tua, bagaimanapun aku mencintai dia dan sekarang aku hamil.
Usia kandunganku masih sangat muda, suamiku putuskan untuk aku pulang saja dan berkumpul dengan keluarganya atau mertuaku. Akupun turuti dan aku fikir ini juga yang terbaik. Kalo boleh jujur ingin aku pulang kumpul bersama keluargaku sendiri tapi restu belum aku dapat dari kedua orang tuaku.
Inilah awal penderitaanku…. Tidak terasa sudah 2 minggu aku tinggal bersama mertuaku, tidak ada angin dan tidak ada hujan, ternyata suamiku masih berstatus suami orang dan belum bercerai, surat cerai yang pernah dia perlihatkan kepadaku adalah surat cerai dengan istri pertamanya.
Bagai disambar petir mengetahui kebenaran itu, ingin rasanya aku gugurkan bayi ini. Aku tidak bisa bicara apa-apa lagi, hanya menangis dan segudang penyesalan yang aku rasakan, aku kangen keluargaku aku kangen sahabat-sahabatku yang dulu aku acuhkan karena tidak suka dengan suamiku.
Terlintas tanya dibenakku kenapa keluarga suamiku menutupi ini dan begitu sayang kepadaku, Ya Allah ada apa ini, aku jadi mengerti setelah ibu mertuaku menceritakan semua kejelekan istri suamiku yang sekarang. Suamiku pernah menikah dengan seorang wanita, sebut saja namanya Sri dan ketika Sri hamil muda suamiku tega menceraikan dan memilih menikahi dengan gadis lain, sebut saja Siti yang sampai saat ini masih menjadi istrinya. Ada yang bilang Siti menjalani karma atau balasan karena merebut AJ dari Sri dahulu, tapi kenapa harus aku yang jadi korban.
YA ALLAH… salahku apa kenapa harus aku yang jadi korban kebohongan suami dan keluarganya dan jika keluarganya menginginkan AJ dan Siti cerai kenapa harus libatkan aku, tiap hari aku hanya bisa menangis dan meminta suamiku untuk membiayai aborsi dan segera pisah denganku. Aku ingin kembali ke kehidupanku, bukannya dikabulkan, AJ malah sering melakukan kekerasan fisik dan belum lagi keluarganya yang diam dengan perlakuan AJ kepadaku.
Akhirnya aku datang ke rumah seorang guru spiritual, aku coba keluhkan semua isi hatiku, dan dia menyarankan aku untuk meminta maaf kepada orang tua dan meminta untuk menikah lagi dengan restu orang tuaku dan istri suamiku.
Mungkin benar kata orang-orang bahwa Siti adalah wanita picik dan sangat pandai membodohi laki-laki karena sifat itulah yang membuat ibu mertuaku tidak pernah menyukainya. Aku fikir Siti tidak menerimaku sebagai madu suaminya ternyata dugaanku salah, Siti dengan senang hati melamar aku pada kedua orang tuaku.
Di sinilah aku mulai hidup baru sebagai istri muda seorang atlit sepak bola indonesia dan dari sini pula aku mulai hidup dengan cinta yang mulai luntur untuk suamiku AJ. Ketulusan mencintainya kini berganti menjadi ambisi untuk mendapatkan hak anakku, ya aku menginginkan sebuah rumah sah atas namaku sendiri.
Kepercayaan sudah tidak ada lagi dalam rumah tangga kami, yang ada adalah aku bertahan untuk ambisiku sendiri. Aku sudah berselingkuh berkali-kali dengan pria lain, aku pikir sah-sah saja aku menjalani kehidupan ganda bukankah suamiku juga melakukannya. Aku tidak tahu kenapa suamiku tidak menceraiku meskipun dia tahu aku selingkuh.
Pembaca yang budiman, inilah kisah hidupku yang entah seperti apa akhirnya nanti, yang pasti aku tetap bertahan disini demi hak anakku yang tidak boleh beda dengan saudara-saudaranya yang lain yaitu tempat tinggal.
Usiaku terpaut 13 tahun dari AJ. Aku tau dia telah menikah dan punya anak. Aku berani melangkah jauh menjalin hubungan cinta dengannya. Keputusan yang aku ambil bukan tanpa alasan, cinta yang jadi alasanku dan betapa aku bahagia ternyata dia telah cerai 2 tahun yang lalu dan sudah pasti itu bukan karena aku.
Keyakinan langkahku untuk terus menjalani hubungan ini juga didasari surat cerai, perkenalan aku dengan ke dua orang tua dan buah hatinya yang masih kecil. Walau tanpa menikah aku rela menjalin hubungan suami istri dengannya.
Kita tinggal di luar kota, aku kerja dan dia juga kerja. Selama menjalin hubungan ini kita berdua bahagia. Aku juga kenalkan dia kepada keluargaku tapi, begitulah orang tua yang selalu menginginkan yang terbaik untuk putrinya. Pertentangan dari keluargaku mulai terlihat, banyak cara untuk memisahkan aku dan dia.
Sampai pada akhirnya aku beranikan lari ke Makasar menyusul dia yang sudah menungguku dan memang memintaku untuk menemuinya. Hampir setahun aku jalani hidup rumah tangga tanpa restu orang tuaku. Menginjak tahun berikutnya kita berdua pulang ke Jawa dan aku ikut lagi ke kota tempat suamiku kerja.
Suamiku adalah seorang atlit bola Liga Indonesia dan memang sudah konsekwensinya pindah-pindah tempat tinggal. Selama aku mendampinginya aku berusaha sms keluargaku untuk minta maaf dan meminta restunya, selain itu aku ceritakan bahwa aku sudah menikah dan kedua orang tua AJ menjadi saksi.
Tidak ada balasan dan aku sadar mereka masih kecewa dengan pilihanku. Menginjak 4 tahun pernikahan, aku hamil anak pertama, dan saat itu pula aku meminta restu orang tua, bagaimanapun aku mencintai dia dan sekarang aku hamil.
Usia kandunganku masih sangat muda, suamiku putuskan untuk aku pulang saja dan berkumpul dengan keluarganya atau mertuaku. Akupun turuti dan aku fikir ini juga yang terbaik. Kalo boleh jujur ingin aku pulang kumpul bersama keluargaku sendiri tapi restu belum aku dapat dari kedua orang tuaku.
Inilah awal penderitaanku…. Tidak terasa sudah 2 minggu aku tinggal bersama mertuaku, tidak ada angin dan tidak ada hujan, ternyata suamiku masih berstatus suami orang dan belum bercerai, surat cerai yang pernah dia perlihatkan kepadaku adalah surat cerai dengan istri pertamanya.
Bagai disambar petir mengetahui kebenaran itu, ingin rasanya aku gugurkan bayi ini. Aku tidak bisa bicara apa-apa lagi, hanya menangis dan segudang penyesalan yang aku rasakan, aku kangen keluargaku aku kangen sahabat-sahabatku yang dulu aku acuhkan karena tidak suka dengan suamiku.
Terlintas tanya dibenakku kenapa keluarga suamiku menutupi ini dan begitu sayang kepadaku, Ya Allah ada apa ini, aku jadi mengerti setelah ibu mertuaku menceritakan semua kejelekan istri suamiku yang sekarang. Suamiku pernah menikah dengan seorang wanita, sebut saja namanya Sri dan ketika Sri hamil muda suamiku tega menceraikan dan memilih menikahi dengan gadis lain, sebut saja Siti yang sampai saat ini masih menjadi istrinya. Ada yang bilang Siti menjalani karma atau balasan karena merebut AJ dari Sri dahulu, tapi kenapa harus aku yang jadi korban.
YA ALLAH… salahku apa kenapa harus aku yang jadi korban kebohongan suami dan keluarganya dan jika keluarganya menginginkan AJ dan Siti cerai kenapa harus libatkan aku, tiap hari aku hanya bisa menangis dan meminta suamiku untuk membiayai aborsi dan segera pisah denganku. Aku ingin kembali ke kehidupanku, bukannya dikabulkan, AJ malah sering melakukan kekerasan fisik dan belum lagi keluarganya yang diam dengan perlakuan AJ kepadaku.
Akhirnya aku datang ke rumah seorang guru spiritual, aku coba keluhkan semua isi hatiku, dan dia menyarankan aku untuk meminta maaf kepada orang tua dan meminta untuk menikah lagi dengan restu orang tuaku dan istri suamiku.
Mungkin benar kata orang-orang bahwa Siti adalah wanita picik dan sangat pandai membodohi laki-laki karena sifat itulah yang membuat ibu mertuaku tidak pernah menyukainya. Aku fikir Siti tidak menerimaku sebagai madu suaminya ternyata dugaanku salah, Siti dengan senang hati melamar aku pada kedua orang tuaku.
Di sinilah aku mulai hidup baru sebagai istri muda seorang atlit sepak bola indonesia dan dari sini pula aku mulai hidup dengan cinta yang mulai luntur untuk suamiku AJ. Ketulusan mencintainya kini berganti menjadi ambisi untuk mendapatkan hak anakku, ya aku menginginkan sebuah rumah sah atas namaku sendiri.
Kepercayaan sudah tidak ada lagi dalam rumah tangga kami, yang ada adalah aku bertahan untuk ambisiku sendiri. Aku sudah berselingkuh berkali-kali dengan pria lain, aku pikir sah-sah saja aku menjalani kehidupan ganda bukankah suamiku juga melakukannya. Aku tidak tahu kenapa suamiku tidak menceraiku meskipun dia tahu aku selingkuh.
Pembaca yang budiman, inilah kisah hidupku yang entah seperti apa akhirnya nanti, yang pasti aku tetap bertahan disini demi hak anakku yang tidak boleh beda dengan saudara-saudaranya yang lain yaitu tempat tinggal.